Berpikir akal-akalan!
18 Oktober, 2009

Aku teringet cerita temanku ttg akal-akalan yg serius demi kehidupan yg lebih baik. Ada suatu kejadian apes menimpa supir Medan di tambang pedalaman Timur sana. Pagi itu, bersama keneknya ia mengendalikan truk proyek dgn cukup kencang di jalan tanah yg lempeng lapang. Di depan terlihat mendadak seorang Ibu menyebrang dari kanan ke kiri, lalu secara replek si supir pun mendadak banting setir, ‘ambil kanan’ utk menyelamatkan si Ibu tertabrak tanduk truk. Tapi apes, dari kanan itu mendadak pula seekor anak babi mengikuti si Ibu tadi menyebrang. Wuuuih! “Brak!!!” Anak babi ketabrak. Si supir melambatkan truknya melihat *brak* dari spion lalu segera minggir dan parkir. Bukan karena dia mendadak lapar meliat anak babi glepar-glepar, tapi karna takut kualat ntar pulangnya. Apes, bakal telat ke lokasi proyek!

Lalu dia suruh keneknya mengurus masalahnya,
“Hei! Ambil babi itu!”
“Kasi uang ini sama Ibu itu, nah!”
“Bilang saza map, Bu!”
“Tsepat kau!”.

Dgn cepat si kenek pergi dan dgn cepat ia kembali.
“Bang, dia campakkan uang kita, ta’ mau dia segitu katanya!”

Si supir kecewa,
“Bah!” Lalu berpikir sejenak,
“Nah, tambain lah 200 lagi, bilang saza map gituuuh!”
“Tsepat!”, katanya lagi mengingatkan si kenek buru-buru.

Dgn cepat si kenek pergi dan dgn cepat juga ia kembali.
“Bang, tak taulahku, dia campakkan juga uang kita, dia bilang itu satu pusting ada dua-tiga pusing mana, katanya. Aku tak ngerti lah maksutnya, bah. Abang saja lah tengok sana!”

“Bah, bah, bah! Tujuratus ribu tak mau utk babi sekecil itu? Bah bah bah! Sepiring pun tak nyape dagingnya ituh!”
Dia turun tergesa, dgn stil yakin dan tapi ragu juga. Dia langsung minta map sambil nunduk menyalam Ibu itu dgn dua tangan satu kepala dan berkata,
“Map, Bu, kami buru-buru! Nah lah, udah kutambain jadi sejuta, trimalah, biar ku ambil anak babi itu, masi ada napasnya kutengok … !” Padahal babi itu sudah selesai menggelepar. Apa pula yg ditengok si supir itu.

“Kao mo bayar ato mo tada ato mo suka-suka, hmm?” Sergah si Ibu.
“Ambil uang kao ini, pigi sana!”, kata Ibu itu sambil mencampakan uang itu lagi. Jadi sudah tiga kali uang itu tercampak-campak. Orang mule berdatangan, empat orang berkerumun sudah. Supir Medan tidak beranjak setelah memungut uangnya itu.

“Lihat dolo babi ku ini!” Sergah si Ibu lagi.
“Dia ada punya banyak anak klo kao tada tabrak, taoo!”
“Hitung dolo berapa ada puting-putting susunya, hah?” Lotot Ibu ke si supir.
Diam sejenak, hening tak berjawab. Berhitung, entah lah. Melipat jari!
“Deeelapann tao kaoo!” Normalnya dua belas, lainnya blon numbuh kali.
“Anaknya ada deeelapan nanti, tao kao!.” Intonasi dinaikin dikit.
“Itu uang mu itu untuk satu putting itu, tao kao!”
“Klo kao mau bayar, hitung semua dolo …!”
“Deelapan putting…!”

Tiba-tiba menyela seorang pria, juga telanjang dada, dgn golok panjang menunjuk-nunjuk.
“Ada sepulu itu, Oma!” Tambah pria itu sambil menungjuk-nunjuk pd bintik samar calon putting yg mungkin saja itu adalah keringat buntat anak babi itu.

Si supir makin deras keringatan berpikir, menggeleng-gelengkan lehernya, berhitung sekaligus memastikan bahwa lehernya masih utuh. Pusing emang kepalanya!
“Edan, … 10juta? … Satu puting saatu juta?”
Katanya lembut sekali di dlm hatinya.
Dia pegang lagi tengkuk lehernya, ada.
“Bah! Tau begini lebih baik tadi aku ‘ambil kiri’, Cuma dua putting!”.
Bisiknya lagi lebih lembut di dalam hati juga, kesel.

Hehehe! Edan!
Ibu itu berpikir akal-akalan!
Supir itu berpikir keringatan.