Archive for the ‘Tertiga’ Category

Berpikir atau berakal atau …
10 Oktober, 2009

Aku pernah liat filem dokumenter di tp, segerombol burung Sea Gull sedang bertelur di rerumputan sekitar pantai berpasir. Seekor induk Sea Gull mengerami tiga butir telur. Pagi itu menetas satu, Iduknya girang lalu terbang mencari ikan segar utk diri telah menahan lapar dan utk anaknya yg baru nongol. Sebelum Induk itu kembali kesarang , telur kedua menetas. Adiknya ini sama besarnya dgn yg menetas tadi, sama juga coraknya dan suaranya. Pengamat memberi tanda beda warna dgn StabiloBoss pada sisi sayap anak-anak itu. Induk yg sedang girang itu tiba dgn penuh makanan diparuhnya. Anak no.1 diberi makan terlebih dahulu, sisa makanan diberikan kepada anak.no2. Selalu begitu, hari kedua, urutan pemberian makanan itu juga demikian, anak no.1 diberi makan terlebih dahulu lalu sisa makanan dlm tembolok diberikan kepada anak.no2.

Di pagi hari ke tiga lahirlah anak no.3, si Bungsu, saat Ibunya pergi lama – mungkin ngerumpi dulu dgn nelayan – mencari teri di pantai. Ibu yg girang itu tiba dgn lebih penuh makanan di mulutnya. Anak no.1 diberi makan terlebih dahulu, anak no.2 diberi makan kemudian dan sisanya tidak ada untuk si Bungsu. Si Bungsu tak makan hari itu, mungkin karena si Ibu salah itung atau si abangan-nya terlalu rakus dan deras pertumbuhanya. Ke esokan harinya sistem distribusi ransum itu pun begitu juga, sama, selalu si abangan duluan secara urut seolah tau kode warna yg diberikan peneliti. Hari itu si Bungsu hanya kebagian kuahnya doang beberapa leleran lender teri, kuah tanpa ikan. Dia terus menangis mangap-mangap sementara abangannya telah nyenyak tidur. Anak no.3 tak makan juga hari itu, walau dia meregangkan lehernya paling panjang, walau dia telah berupaya mangap paling lebar, walau dia telah jinjit paling tinggi di tepi sarang. Begitu seterusnya, si Bungsu itu hanya beroleh lelehan lender dan mungkin ludah doang dari paruh Ibunya. Sedih aku melihanya, kasihan aku mendengar jeritnya, tapi Ibunya tetep tak mikir apa-apa kletannya, entah lah. Memprihatinkan.

Di pagi hari ke tiga atau empat kali, rupanya si Bungsu tak kuat lagi berupaya sia-sia. Si Bungsu itu keluar meninggalkan abangannya “gontai” secara ragu-ragu, dia tak lagi berharap menanti Ibunya tiba membawa teri utk nya; Dia langkah tiga langkah ke luar balik lagi ragu. Si Bungsu itu ngider kesana kemari mencoba mencari Induk yg mau merawatnya atau membaginya makanan. Di sekitar saranng itu banyak Sea Gull lain yg sedang mengerami telurnya. Si Bungsu mendekat sarang lain, tapi diusir oleh Induk yg sedang mengerami. Di usir di sini, diusir di sana, dipelototin di sana-sini, linglung dan lapar mencari Induk Semang yg rela pada nya. Setelah capek, si Bungsu mojok agak di belakang sarang yg sedang dierami. Sempat di pelototin si pemilik sarang sebentar, lalu dibiarin karena mungkin itu bukan ancaman dan juga males menoleh kebelakang terus mungkin. Saat induk itu pergi terbang mencari ikan karena ada satu telurnya yg baru menetas, si Bungsu berani mendekat ke pinggir sarang itu, lalu masuk meyakinkan dirinya bahwa dia adalah anggota di dalam sarang itu. Berhasil!!! Ya! Ketika Induk pemilik sarang itu datang dgn ikan di paruhnya, maka yg diberi makan terlebih dahulu adalah dia, si Bungsu itu, yg bagai si abangan diperlakukan oleh pemilik sarang. Sisa makanan diberikan kepada anak kandungnya. Dst, selamat lah dia!

Ajaib! Pikirku.

Apa ada yg dibicarakan kawanan Sea Gull ini kepada kita. Apakah anak burung umur tiga hari telah dapat menggunakan akalnya secara maksimum utk hidup? Apakah ibu kandungnya — sejauh kira-kira 3 meter dari anak itu — tidak merasa malu melihat ibu semang? Apakah ibu semang itu memuji akal si Bungsu itu lalu menjadikannya anak kandung?
TAU-ah gelap!
Kulihat semuanya fain-fain saja, damai gitu loh, tak ada masalah.
Tampaknya si Bungsu ingin hidup.
Tampaknya si Bungsu ingin selamat.
Tampaknya si Bungsu “Trial and error”

Salam Damai!