(1/3) Berpikir lintas mata telinga
12 November, 2009

Pada kanak: Seeing is believing!
Dewa-sa: Believing makes you see!

Berpikir lintas mata adalah pembelajaran yg selalu menuntut bukti, suatu pembelajaran yg selalu ingin memuaskan jiwa; “Seeing is believing”. Mata adalah alat pencerna pertama makanan jiwa, yaitu padatan yg keras-keras, pejal, mendebarkan.

Berpikir lintasi telinga adalah pembelajaran yg tidak selalu menuntut bukti, suatu pembelajaran yg tidak selalu ingin memuaskan jiwa melainkan rohani; “Believing makes you see”. Telinga adalah alat pencerna pertama makanan rohani, yaitu yg gas-san yg lebut halus-halus, ilang, mengherankan.

Setiap gambar yg dilihat mata kerap ber-kata-kata dan setiap kata yg terdengar telinga kerap ada gambarnya. Gambar nyata masuk melalui mata, kata maya masuk melalui telinga. Tulisan ini adalah gambar-gambar kata yg masuk melalui mata seolah terdengar ditelinga lalu membentuk imej keseluruhan pelukisnya. Kita bagai dpt mendengar apa yg kita lihat dan kita seolah dapat melihat setiap apa yg kita dengar. Demikian halnya dgn Beethoven yg ketika menuliskan Symphony No.9 dalam keadaan tuli total. Dia dapat mendengar karyanya itu dengan mata, kita dapat melihat keagungannya dengan telinga.

Dalam keadaan sadar, kata-kata sering terdengar jelas, tapi gambar-gambarnya sering burem. Dalam keadaan tak sadar atau tidur, gambar-gambarnya sering terlihat jelas,  tapi kata-katanya terdengar samar (tengok lah mimpi-mimpi kita). Jadi, mata dan telinga memberi pelajaran utama bagi kita utk berkata dan berbicara.

Kurasa, pelajaran pertama yg diserap seorang anak dari ego dunia ini adalah belajar dari mendengar, kemudian yg kedua adalah belajar dari melihat. Kedua input pelajaran itu adalah utk belajar berkata-kata. Ketika di dalam kandungan anak sudah bisa mendengar,  utamanya mendengar denyut jantung Ibunya, mungkin juga dia mendengar desir aliran darah, mendengar suara tarikan dan hembusan nafas  dan mendengar suara bicara Ibunya. Miriplah keknya bagai kita mendengar suara bineng dan suara gemuruh bila kita menutup telinga rapat-rapat.

Pengajaran pertama yg diberikan oleh Orang-tua kepada anaknya ialah mencintainya. Ibu memperdengarkan kata-kata cintanya dgn berbicara monolog dan kadang dgn bersenandung atau bernyanyi solo utknya semata. Seluruh bangsa dan suku di dunia ini keknya mempunyai lagu kanak-kanak sejenis “Nina Bobo”, lagu penghantar tidur bagi anak. Seluruh bangsa dan suku mengerti arti kata “Mama” dan “Papa”, kata yg mudah dilafalkan si mulut mungil berlidah pendek itu utk berkomunikasi dgn Orang-tuanya. Kata “Bunda” dan “Ayah” atau “Ibu” dan “Bapak” adalah kata berikut yg lebih sulit diucapkannya dan boleh saja dipilih utk meluaskan arti cinta pada orang yg lebih tua nantinya.

Begitulah rupanya kita masing-masing beroleh cinta, seperti halnya juga cinta Allah kepada manusia, bahwa Allah-lah yg terlebih dahulu mencintai manusia itu melalui banyak ciptaan yg dipersiapkan utk kebutuhkan kita. Allah-lah yg terlebih dahulu bermonolog kepada kita melalui Firman-firmannya. Allah-lah yg terlebih dahulu bernyanyi melalui desir angin cemara, bunyian jangkrik malam dan mungkin juga melalui nada gesek  antara planet dgn gas asing, termasuk desin gesekan dgn Bumi ini yg senantiasa bergerak dgn kecepatan konstan sekitar 2,5 juta km/hari mengitari matahari. Banyak sekali keteladanan yg Allah paparkan terlebih dahulu kepada kita manusia untuk bahan pengajian kita di bumi ini.

Bagi anak, nyanyian dan kata yg terpilih adalah sangat penting bagi pertumbuhannya. Kita Orang-tua memilih kata-kata yg tepat dan gampang dicerna ketika memujinya terlebih lagi ketika kita memarahinya. Dan,  bila marah pun kita padanya harus lah direncanakan terlebih dahulu dgn baik termasuk caranya, waktunya , kata-katanya pun hrs dipilih agar tidak asal ceplos, dan perlu menyediakan celah sempit utk jalan pemakluman kesalahannya sebagai katup pengaman emosi jiwa, sekaligus utk teladan kasih dan pengampunan dari Orang-tua kepada anaknya.

Dlm keadaan normal sebaiknya anak diberi satu bahasa saja yg sederhana dan satu nyanyian yg juga harus sedarhana. Bahasa itu adalah bahasa anak yg kalau dituliskan kedalam text sepertinya bahasa itu kedengaran bego gitu. Sebenarnya kita tidak bego dan anak pun tidak bego situasi dan posisinya  lah yg menghendaki bahasa itu spt be-begoan. Kata atit artinya sakit, mimim dan mamam artinya haus dan lapar, dst. Kadang kita juga memberikan permainan “Tang” yg lucu berkali-kali agar si anak ikut bergembira dan tertawa bersama nuansa Ibunya. Ketiak si anak diapit dgn ke dua tangan si Ibu, lalu ditinggikan dan  “Tang-ting-tang-ting-tang-ting-tang 3x”,  lucu Tang itu. Begitu indahnya, sederhananya lintasan cinta itu. Orang yang melihat pun terpaksa bahagia.

Ada pengamatanku sekilas pada anak tetangga yg bingung, yaitu pada pengasuhan anak hasil perkawinan antar suku. Katakanlah perkawinan antara suami dari suku Batak-totok dgn istri dari Jawa-medok yg punya pembantu pengasuh anak orang Sunda-tulen.

Ketika pembantu itu menggendongnya menyuapi makan, si anak selalu dicecar dgn bahasa Sunda tulen dan setelah kenyang dia nyanyikan lagu ini:

—Naleng-nenggung eta neleng-neleng neng-gung,
—Geura-geura geude, geura jangkung, …
Sampai si anak tertidur!

Ketika Ibu kandungnya pulang dari kantor, kerinduan pd anaknya dicecer dgn bahasa Jawa dan ada sedikit ditambah-tambahin Arab-arabnya dan selalu menidurkan anaknya itu dgn nyanyian:

—Ta’ lelo-lelo lelo-lelo gung,
—Cep menengo anaku Cah Bagus …
Sampai si anak tertidur!

Ketika Bapaknya ingin menggendong atau terpaksa menggendong anaknya, mungkin tidak sering, tapi monolognya keras dan mantap dan selalu menyanyikan lagu ini:

—Modom ma da Amang Ucok, modom ma da Amang
—Tampuk ni pusu-pusuku do da Amang da Ucok,
—Urat ni ate-ateku do da Amang da Ucok …
Sampai si anak tertidur!

Lalu aku ragu apakah karena ragam monolog dan ragam lagu pengantar tidurnya itu yang menyebabkan serapan egonya jadi lekas beragam dan mimpinya pun sudah bervariasi. Fakta sekilas, anak itu lama sekali begonya, sering plengah-plengoh, tolah-toleh memperhatikan teman sebayanya bercengkrama dan bernyanyi dlm bahasa Indonesia?

Pengamatanku ini hanya sekilas saja dan belum kukontraskan dengan bangsa-bangsa yg memiliki satu bahasa yg kaya dalam membesarkan anak bangsanya, seperti pada bangsa Jepang dan Cina dll.

Salam Damai!